Kamis, 22 Januari 2009

Gurame Kuah Pecak dan Kuah Pucung Haji Nasun

SH/bayu dwi mardana
Sop daging Betawi, andalan lain di Rumah Makan
Haji Nasun.
Jakarta – Suka dengan sajian Betawi? Pergilah ke wilayah Jagakarsa, Jakarta Selatan. Di daerah ini, Anda bakal menemukan beragam masakan khas Betawi. Jalan masuk yang sempit dan tempat makan yang sederhana ternyata menjadi penyedap perburuan makanan. Yang terkenal dan legendaris, Rumah Makan Haji Nasun. Andalannya, gurame kuah pecak dan kuah pucung.

”Assalamuailaikum, Pak Haji. Apa kabar? Katanya baru sembuh,” sapa beberapa pelanggan Rumah Makan Haji Nasun. Lelaki paruh baya yang memakai kopiah putih membalas sapaan itu dengan senyum terkulum. Dia pun menyalami satu per satu orang-orang yang sedang makan. ”Alhamdulillah udah mulai baekan. Silakan makan deh,” ujarnya dengan ramah.
Siang itu, Kamis (9/9), Haji Nasun terlihat segar. Dia menemui pelanggan rumah makannya dengan kemeja batik mengkilat dipadu celana panjang warna gelap. Kepalanya terbungkus kopiah putih. Usai menyalami pelanggan yang sedang makan, Haji Nasun mengambil kursi. Dia memilih duduk bersama beberapa pelanggan laki-laki yang menyapanya sejak awal. Obrolan santai pun mengalir.
Rumah Makan Haji Nasun bukan saja terkenal dengan masakan khas Betawi yang lezat. Tempat ini juga ngetop sebagai ajang kongko yang asyik. Terlebih, sang pemilik selalu menyapa ramah tiap pengunjung. Siapa saja yang makan di sini, tak peduli pelanggan lawas atau yang baru sekalipun, semuanya disalami. Tegur sapa nan ramah ini tentu saja membuat betah.

Andalan: Ikan Gurame
Sajian yang ditawarkan Haji Nasun memang berbeda dengan rumah makan Betawi lainnya. Di tempat ini, jangan pernah mencari sayur asam dan ikan goreng. Haji Nasun mengandalkan masakan ikan dengan dua bumbu unik: kuah pecak dan kuah pucung. Sebelum disajikan ikan yang sudah digoreng terlebih dahulu itu diceburkan ke dalam wajan yang berisi kuah pecak atau pucung.
Menurut Haji Nasun, untuk membuat kuah pecak itu caranya mudah saja. Kuah pecak yang tampilannya mirip kuah bumbu rujak, berwarna kuning dengan santan pekat. Kuah santan tersebut dimasak dengan bumbu kunyit, kemiri, kacang tanah, bawang merah dan bawang putih, kencur, jahe serta garam. ”Semua bahan tadi, diulek sendiri pake batu. Saya nggak pernah pake blender,” ujar Haji Nasun. Bumbu ini merupakan hasil kreasi sang istri, Hj. Samih (48).
Kuah pucung tak jauh berberda pengolahannya. Kuah berwarna gelap ini memakai bahan utama pucung alias biji keluwak. Walhasil, tampilan kuah pucung lebih mirip rawon, masakan khas Jawa Timur. ”Selain pake pucung, bumbunya juga ada cabe, bawang, kencur, jahe, kunyit untuk ngilangin bau anyir dan air. Semuanya digodok,” kata Haji Nasun yang dikenal suka melucu ini.
Untuk memilih pucung yang berkualitas baik, biasanya Haji Nasun dan istri mencicipi sendiri pucung yang dikirim. Setelah ditumbuk, dikorek sedikit. ”Dicobain dah, kalo pait ya udah harus dibuang semuanya. Jadi misalkan dikirim 50 biji, dicobain ada yang pahit ya udah harus dibuang semuanya,” jelas Haji Nasun membocorkan rahasia kualitas bumbu yang ditawarkan.
Selain gurame, Haji Nasun juga menyediakan ikan tawes, ikan mas dan ikan gabus. Hanya saja, ikan gabus dan tawes jarang didapat. Kebanyakan pengunjung paling suka gabus yang diberi bumbu pucung, sedang gurame paling asyik dibaluti kuah pecak. Harganya? ”Satu potong gurame harganya sekitar Rp 25.000, untuk gabus antara Rp 20.000 – Rp 25.000, tawes dan mas antara Rp 15.000 – Rp 20.000,” sebut lelaki kelahiran tahun 1933 ini.
Rata-rata dalam satu hari, rumah makan ini berhasil melego 80 potong ikan dan omzetnya mencapai Rp 1,2 juta per hari. ”Itu pemasukan kotor. Untung bersihnya sekitar Rp 150.000 per hari. Kalau lagi ada pesanan, ya hasilnya bisa di atas dua juta rupiah.” Saking larisnya, rumah makan yang mulai buka sejak pukul 09.30 WIB ini sudah harus menutup warung sejak pukul 14.00 WIB. Padahal jadual resmi tutup warung, pukul 17.30 WIB. Tak jarang, untuk memastikan dagangan masih ada banyak pelanggan yang menelepon terlebih dahulu.

Makan Pisang Gratis
Haji Nasun mulai membuka usaha ini sejak 1982. Dia tak ingat pasti kapan tanggal dan bulan warungnya mulai buka. Yang jelas, saat itu modalnya Rp 130.000. ”Sebagian buat modal bikin dapur dan sebagian lagi modal usaha,” cerita Haji Nasun. Sebelum dagang makanan, lelaki asli Kampung Babakan, Jagakarsa ini mengaku punya profesi bandar sayur-mayur. ”Tiap hari saya anter sayur ke Manggarai. Yang terkenal waktu itu daun melinjo ama daun singkong dah,” kenang bapak yang merasa bersyukur dari hasil jualan dapat pergi haji bersama sang istri dan mampu melunasi cicilan sebuah mobil.
Usai makan, jangan dulu buru-buru pulang. Sebab, tiap pengujung ditawari pencuci mulut gratis: makan buah pisang. ”Setiap hari, saya selalu beli pisang untuk orang yang makan di sini. Saya bikin gratis karena itu kan sama aja nyedekahin orang,” alasan Haji Nasun. Baginya, bisnis boleh saja jalan terus tetapi dia tak mau melupakan pencarian pahala untuk tabungan masa depan.
Selain tawarkan ikan, Haji Nasun menawarkan sop daging ala Betawi. Sop yang dibuatnya tak memakai tulang untuk membuat kaldu sop. Kelezatan itu datang dari bumbu yang cukup dan waktu pematangan yang pas. Kaldu tanpa tulang ini tentu saja memberi keuntungan: kuah sop menjadi bening dan warung makan jadi bersih serta bebas dari serbuan lalat. ”Inilah rahasianya warung saya bebas dari lalat,” kekehnya. Soal rasanya, silakan coba saja sendiri.
Gurame kuah pecak dan kuah pucung Haji Nasun juga hadir dalam gelaran Heritage Food in Heritage City (HFHC), Minggu (29/8). Gawe bareng Sahabat Museum dan Jalansutra ini digelar di Museum Arsip Nasional Jakarta. ”Waktu itu, panitianya pesan 50 potong gurame pecak, 50 potong gurame pucung, 50 porsi sop daging dan 100 porsi nasi,” kata Haji Nasun sambil menunjukkan kliping pemberitahuan acara HFHC itu.
Gurame kuah pecak dan kuah pucung boleh saja diminati penggemar kuliner dalam HFHC. Sayangnya, santapan lezat ini menjadi terasa kurang pas lantaran para penjaga stan gurame kuah pecak ini justru tak tahu menahu soal sajian yang mereka tawarkan. ”Wah, masak Mbak nggak tahu sih lokasi warungnya Pak Haji Nasun?” tanya seorang pengunjung terheran-heran. Beberapa perempuan penjaga stan itu hanya tersipu malu. Dengan bersemangat, si pengunjung pun memberi gambaran peta. Maklum, dia mengaku sebagai fans berat masakan Haji Nasun.
Begitu kelar memberi peta komplet dan beragam pujian, si pengunjung tersebut kembali kecewa. ”Gimana sih mbak, saya kasih tahu kok nggak serius,” ujarnya menahan kesal. Sejurus kemudian dia berlalu dari stan gurame kuah pecak di HFHC itu sambil geleng-geleng kepala. ”Wah, kalo Pak Haji tahu bisa marah dia,” gumamnya. Betul juga dia, sebab makan di warung Haji Nasun terkenal dengan keramahan dan gaya pelayanan yang khas. Makan enak, kongko pun nyaman.
(SH/bayu dwi mardana)